Sawit Tamiang, Kehancuran Asgard dan Kedaulatan Kopi Gayo

in #indonesia7 years ago (edited)

Disclaimer: Aku mempersiapkan diri jika ada pembaca yang merasa bahwa uraianku menggurui. Mungkin hal itu adalah kutukan. Kuharap para pembaca lebih fokus pada isi, bukan cara atau gaya. Sebab aku tak punya banyak cara untuk melukiskan sampah peradaban bernama kegagalan pembangunan.

Patah-hati membuat aku menyingkir ke tengah, Tanoh Gayo. Bukan soal Cinta, tapi akibat gagal menempuh pendidikan Strata 2. Konspirasi semesta yang melibatkan seorang staf perusahaan minyak di Qatar; kebaikan hati kawan satu shaf demonstrasi hingga sebentuk kenangan yang pernah kulalui di SMP Negeri 4 Timang Gajah dan SMP Negeri 1 Takengon; serta mencari tempat menuntaskan buku yang sedang kutulis. Cuaca dingin bagus untuk mengendalikan respon reaksioner otak reptilku.

Kopipun lantas masuk ke dalam hidup. Perkenalan dengan rasa kafein kumulai saat mengenyam ilmu di bangku kuliah. ‘Panorama’ kopi sebagai potret kesantaian yang telah kuakrabi di lingkup warkop perkotaan menjelma vista baru; Kopi sebagai wujud kerja-keras, berukir bulir keringat para petani dan seluruh faktor produksi yang berkubang di dalamnya.

14940102_1254842121239904_345134071205349406_o.jpg

Secara etnis dan genetik, aku terbentuk dari persekongkolan Bapak yang ‘berpayung’ Tamiang dan Mamak yang ‘berakar’ Jawa. Aku terlahir di Negeri Muda Sedia. Saat berkutat di dunia kepecintaalaman, aku menemukan keterjajahan Tamiang sebagai wilayah kabupaten oleh kapitalisme dan imperialisme perkebunan sawit. Hingga aku suka memperolok diri sendiri saat berkenalan dengan orang, “Namaku Diyus, berasal dari Aceh Tamiang; Kabupaten yang ‘numpang di kebun sawit”.

Sawit adalah kekalahan dasarku sebagai Orang Tamiang, aku tak berani mengatasnamakan kawan-kawan lain yang berasal dari sana. Sebab, bisa saja mereka merasa bahwa sawit adalah jalan menuju Baitullah, jembatan emas untuk membeli Rubicon, kekuatan menyangga biaya pendidikan dan sumber biaya penyokong liburan. Kawan-Kawan steemian Tamiang seperti Jack, Bons dan Ibnu Syahri Ramadhan dan Indra Perdana boleh menjadi pembanding pendapat.

Konsesi lahan perkebunan besar yang dimulai dari konsesi politik Pemerintah Republik Indonesia terhadap gerakan DI/TII di Aceh; Para petinggi DI/TII yang saat itu memiliki posisi strategis memperoleh konsesi lahan berluas ribuan hektar. Fakta yang kutemukan saat mendompleng beberapa perjalanan advokasi LBH Banda Aceh di kampung halamanku. Aku tak paham persis dengan metode distribusi lahan tersebut. Namun, dokumen yang menjelaskan kenyataan ‘persawitan dalam permusyawaratan perwakilan’ bukanlah hal yang musykil diperoleh.

14882327_1254846421239474_3897013119938549319_o.jpg

Sudahlah, aku tengah patah-arang dengan Tamiang, akarku. Kopi lantas bercerita padaku bahwa di Tanoh Gayo, lahan perkebunan masih menjadi wujud nyata kedaulatan. Kekalahan para petani kopi tak lebih dari permainan harga para cukong dan keterputusan informasi antara pasar dan rakyat petani. Senjang yang masih mudah ditutup dengan frasa edukasi kopi. Frasa yang muncul saat aku mulai bergaul dengan para Raushan Fikr dunia kopi seperti Maharadi, Mahlizar Safdi, Iwan Juni (pakar varietas kopi yang sedang menunggu approval akun steemit), Syahru, Fitrah Cahyadi (Q-Gradder), Bang Win Ruhdi Batin (mantan jurnalis dan Organisator Petani Kopi) dan Petani Kopi Progresif.

Terbukti, harga kopi meningkat perlahan. Produk kopi yang dikeluarkan juga beragam. Petani yang biasanya paling banter menjual produk green-bean dan labu, kini sudah paham dry-hulling, honey processing, natural processing dan wine processing; sudah pula tahu memilah biji peaberry dan longberry. Kemajuan tersebut belum seberapa. Saat mesin mesin sangrai hadir sebagai industri jasa baru, rakyat petani kopi sudah bisa menjual produk akhir dalam bentuk biji sangrai (roasted-bean) dan bubuk (coffee ground). Coba bandingkan dengan sawit.

Jadi, kupikir Tanoh Tembuni bakal menjadi tempat yang cocok untuk merenungi kegagalanku sebagai Orang Tamiang. Kuharap kawan-kawan di Tanoh Gayo tak pernah bosan jika aku selalu menyebut kampung mereka sebagai sisa kedaulatan rakyat terhadap lahan dan selalu pula membandingkannya dengan kekalahan Tamiang sebagai sample.

Aku selalu mengagumi saudara-saudariku di Tamiang sana yang masih percaya kesurgawian sawit. Bahkan rela berlindung di bawah bahasa para birokratnya yang menyangkal bencana banjir bersebab pembukaan lahan untuk perkebunan sawit. Kuharap mereka dapat memahami bahwa pembahasanku ini soal kebrutalan industrinya, bukan soal komoditas.

Harapku juga bertambat di pemahaman mengenai betapa kalah Tamiang jika dibandingkan dengan Tanoh Tembuni. Tak ada kedaulatan tersisa. Rakyat petani sawit tak bisa berdaulat dengan produknya sebab produk sawit mesti melewati tahapan produksi industrial. Bahkan setelah Kuala Simpang menjelma menjadi ‘Kuala Lumpur’ akibat pembukaan lahan yang mempersilahkan banjir hadir 2006 silam.

Gayo, Daulat Rakyat Terakhir di Aceh
Penjajahan sawit tidaklah berhenti di Tamiang. Ke Tanah Pasee dan Peureulak ia juga datang menyambang. Negeri Breuh Sigupay, Meureuhom Daya, Negeri Naga dan Singkil tak lepas dari incaran. Bagaimana hendak menghindar dari duri di pangkal pelepahnya? Macam mana bisa terelak dari kutukan tandus dan tamak-airnya? Adakah cara tetap berdaulat dengan tiap kelindan licik permainan harganya di tampuk-tandan? Tetap akan terucap “Daulat, Tuanku…” saat mesin-mesin raksasa dengan harga di luar jangkauan gapai berkuasa, bukan “Daulat Rakyat” yang semestinya mewujud di zaman merdeka.

***

Uraian mengenai kedaulatan Gayo telah kutulis sepintas-kupas dalam deret baris di atas. Bersama kegagalan Tamiang yang sepenuh Cinta sudah kuurai telanjang. Kedaulatan Gayo dalam aspek penguasaan lahan yang masih berada di tangan petani belumlah utuh. Ketundukan pada harga pasar masih sedikit mirip dengan Tamiang. Namun, industri kopi yang meningkat pesat tak cuma datang sekelebat. Ia meningkat, erat mengikat. Adonan harmoni teknologi mesin sangrai, media sosial dan aplikasi pesan teks (text messenger application) telah membuka ruang pemasaran hingga ke dalam kehangatan selimut bahkan keheningan-spiritual bilik kakus.

14610937_1250783598312423_703557061101430721_n.jpg

Apakah petani sawit bisa seberdaulat petani kopi? Biarkanlah data saja yang berbicara sambil mengiring fakta berdansa.

Sementara ini aku ‘terpaksa’ menyimpulkan kopi yang digarap secara kaffah akan mengantarkan Rakyat Gayo ke dalam kedaulatan ekonomi. Belum usai kagumku, kutemukan kekaguman kedua yang makin membuat aku kecanduan menelisik Gayo, modal sosial; Tradisi Tutur I Gayo. Berwujud sebuah bagan yang menuliskan mengenai tata panggilan (tutur) sanak-saudara dalam persekutuan Adat Gayo. Tak tanggung-tanggung, bagan tersebut menggambarkan cara bertutur hingga 7 turunan.

Belum habis kagumku, aku menemukan kembali variabel tambahan, Aksara Gayo. Penemuan yang mengukuhkan penemuan arkeologis Ceruk Mendale. Mari sejenak mengurai makna kata sejarah; kata serapan yang berasal dari Bahasa Arab dan dalam Bahasa Indonesia bertabal makna “Masa sesudah manusia mengenal tulisan”. Definisi yang mengukuhkan bahwa masyarakat Gayo telah memiliki akar-budaya peradaban modern, mengenal tulisan. Jadi, setiap bunyi telah memiliki aksara sebagai simbolnya, juga setiap kata di masa silam tercatat sebagai pelajaran. Tak cuma itu, tiap ilmu pengetahuan dan pengalaman para pendahulu dapat terekam dan terwariskan; tak lekang oleh cuaca, tak lapuk oleh waktu.

Seni Tutur di Gayo masih melantun membelah malam-malam berembun. Didong, sebuku dan pepongoten. Situs bersejarah, air terjun dan gelimang alam membentang melenakan pandang dan tentu saja kopi yang masih berdaulat. Kuungkaplah kagumku dalam sebuah rencana saat ia mengajakku bermufakat tentang steemit. Platform media sosial yang mengganjar jerih para seniman konten dengan imbalan uang bermata Steem dalam lingkung perbankan global berlandas Blockchain dan bernaung di lindungan sistem keamanan cryptocurrency. Bukti kerja otak yang tak sekedar berimbal atensi grafis (like, love, sad dan lain-lain) dan kepuasan psikologis, tetapi juga memberi imbalan berdampak ekonomis. Steemit memberi ruang kedaulatan berkarya dan menuai manfaat dari interaksi antar pengguna.

“Wak… ini waktunya menuliskan Gayo secara utuh,” ujarku kepada @yaminhi dan Mahlizar saat sua pertama dalam konteks steemit. Kuurai alasan dana dan perhatian pemerintah yang seolah abai terhadap kreativitas non-proyek sebab susah menuai fee. “Kuharap kawan-kawan steemian Tanoh Gayo bisa menyumbangkan diri dan karyanya sesuai dengan bidang masing-masing”.

Kupikir bakal indah jika para backpacker dan penjelajah yang berasal dari Tanoh Gayo yang merelakan diri menjadi steemian, mewajibkan diri sendiri untuk menyumbang tulisan mengenai hasil perjalanan mereka. Detail wahana, foto, kisah dan bumbu penyedap informasi lain agar Gayo terinderai secara kaffah. Supaya Tanoh Tembuni tak tinggal cerita.

Dunia, atau lebih tepatnya Bumi sedang ‘menggeolkan’ goyangan Tango Globalisasi. Namun, tak elok membiarkan Globalisasi menerjemahkan rentak bongo sendiri, “It’s need two to Tango…”, kata orang seberang. Globalisasi bukanlah penari tunggal ketika tiap suku mampu mempertahankan, atau sekurangnya, meluangkan waktu untuk mendokumentasi tradisinya secara digital. Adalah blasteran-kata bernama Glokalisasi (global dan lokal) yang dapat menjadikan Globalisasi sebagai mitra menarikan Tango; penggabungan interaksi Global dengan tetap menjaga nilai tradisi Lokal. Menjadi maju tanpa lupa akar dan mampu membedakan westernisasi dengan modernisasi.

Benakku makin menggelinjang membayangkan setiap aspek mengenai Gayo terpampang sebagai data berformat digital. Anggaplah ia sebagai tabungan dan amal sosial. Jadi, jika kemajuan teknologi membangun kecenderungan generasi penerus lebih memilih beat-box, rap, band, gaming dan programming sebagai ranah ekspresi dan profesi, setidaknya, rekaman data digital tentang Gayo nan kaffah mampu mengabadikan kenangan tradisi. Atau justru dapat berpadu dalam seni-budaya pop, bersanding dengan tradisi global di ranah seni. Identitas dan muasal yang tak boleh hilang sebagaimana slogan indah Tanah Tinggi, “Asal Linge, Awal Serule.”

Jika telah utuh Gayo tertulis, tantangan krisis identitas di masa depan sudah berkurang sebiji. Bahkan, jika suatu ketika nanti, Tanoh Gayo dipunahkan oleh angkara murka atau keputusan pembangunan yang salah, generasi penerusnya akan tetap mampu bertahan seperti nasehat Odin kepada Thor, putra dan penerus kekuasaannya di Asgard, “Gayo itu bukanlah wilayah, tapi Rakyatnya…”

Asghardian.jpg

Pariwara Batin

Tamiangku sayang, usah sedih menjabar kau tebar dendang,
Aku pasti melangkah pulang, merumus rencana di Tanoh Tembuni,
Di liang telingaku masih lantang, jelas sungguh terang-terngiang
Pesan mulia Hang Tuah berkumandang
, “Ta’ Melayu Hilang di Bumi”

Sort:  

Sebuah ulasan yang luar biasa dan masalahnya nyelinap juga di otak ku sawit oh sawit engkau telah memberi dampak negative ke daerah pegunungan. Au lah bagaimana kebijakan ke depan

Mari kita rapatkan pagar-betis dan pagar-paha, Bang...

Mantap bg @sangdiyus, baru tw nama akun abg..
Pdhl dah lama ngobrol pas mlm meet up di takengon.
Salam dr Medan (lagi) :)

Salam hangat dari Kota Dingin, Bro... Jangan bosan main kemari, ya...

Selamat !!! Tulisan ini telah kami Upvote dan Resteem, kami tunggu karya terbaik lainnya dari abangda @sangdiyus.

“Gayo itu bukanlah wilayah, tapi Rakyatnya…”

Mengkonversi ungkapan Odin kepada Thor...
Namun, dalam konteks saat ini Gayo masih berwujud kesatuan rakyat dan wilayah. Kalau masih ada wilayah tetap harus dipertahankan.

Betul bang, oleh karenanya harus segera menulis.

Sawit lagi sawit lagi. Saya bosan membahasnya. Tulisan anda berkena @sangdiyus. Salam kenal dari saya di Aceh Timur.

Sagoe Pasee sudah tepercik sawit juga, Bang... Meuramasss kitaaa...

Sedap.. Lezat..

Silahkan disantap, Bro...

Ulasan yang sangat tajam kawan.. Faktanya terpampang nyata, tak tau apa yang harus tanggapi.. Itu aja bg..
*Ta' melayu hilang di telan bumi. *

Tentu, saranku di atas bisa juga untuk kampung kita. Mulainya pelan-pelan aja...

Semangat ya..

Terimakasih sudah singgah dan menyemangati...

Sebuah usaha yang sangat mulia ,
Semoga usaha anda lancar dan diberi rizki yang berlimpah.
Penulisan artikel anda sangat menarik membuat saya menjadi motifasi untuk berusaha.
Tolong bantu saya dalam bermain steemit ini
Tolong bantu vote saya

Terimakasih sudah singgah. Segera merancang kunjungan balasan... :)

Lets make Tamiang Great Again!

Sure! Need more effort, huge effort to make it...

Ulasanmu benar2 mengusik pikiran bg, kudengar2 dri beberapa teman kemegahan kafein gayo melirik banyak mata dibelahan dunia, bahkan asing. Saat ini bukan hya kopi jadi target, lahan masyarakat yg subur disana menjadi incaran dengan tawaran yg cukup menggiurkan.

Sebagai sesama pemilik pikiran yang terusik, mari kita rapatkan barisan...