Rakyat itu ibarat "Manok Gampong"

in #indonesia7 years ago (edited)

ayam beranak.jpg“Tidak penting bagi kami APBA dikanunkan ato Pergub. Karena APBA itu tidak menjadikan kami kenyang. Yang paling penting bagi kami adalah selama 32 tahun kami hidup dalam kemelut Konflik tidak bisa membangun dan bersaing dengan daerah lainnya di Indonesia, melahirkan UUPA sebagai bentuk transformasi kompensasi masa-mas rakyat Aceh menuju Kemakmuran...”
Penggalan status facebook Ariel Peusangan itu menyentak lamunan, jadi ingat nasib manok gampong (ayam kampung) dalam inafi (cerita tutur) Ama Furaka di kampung saya. Eheem, saya seruput sisa kopi pa gi sambil menyulut 9 inci.
Saya reka ulang atas keadaan sosial rakyat Aceh hari ini. Rakyat telah sangat menderita dan terhina, penuh krisis, konflik dan kezaliman, yang merangkai penderitaan panjang bagi rakyat banyak dan anak-cucunya. Sungguh nasib buruk itu, bukan bala atau laknat, melainkan sebagai dampak dari kemunafikan para elit. Karena Allah tidak akan mengubah keadaan (nasib) suatu kaum sehingga mereka (telah lebih dulu) mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri," (QS:13:11).
Bahwa realitas sosial yang busuk sekarang ini akibat lakon dari kebusukan para pemimpin mereka yang lupa setelah mereka meraih kekuasaan. Para pemimpin yang disematkan harapan rakyat, tidak memenuhi tanggung-jawabnya dan berkhianat atas nasib rakyat itu. Sejatinya itu harus menjadi kesadaran kolektif para pemimpin.
Sebenarnya tidak banyak tuntutan rakyat, seperti manok gampong (ayam kampung)— yang hidup mengais sendiri makananya—mereka hanya butuh kandang yang memadai. Namun, nasib manok gampong yang tuannyan tidak peduli mau bertengger di mana, mau selamat atau tidak. Si tuan tak ingat, apakah sudah dimangsa Musang, biawak dan Ceurape. Gilirannya, ayam sebagai gembala pun tidak merasa ada tuannya. Malahan muncul khawatir, jangan-jangan manok gampong sedang dirancang menjadi kurban hari makmeugang.
Bagi ayam kampung ketersediaan kandang, sudah terasa cukup nyaman agar tak dimangsa. Sehingga masih terbersit harapan untuk bisa melanjutkan hidup mengais makanan hari-hari berikutnya. Ironinya, itu yang tak dipeduli oleh para tuan gembala di Aceh sekarang. Padahal ayam kampung yang mengais sendiri, bertelur untuk poding negeri, harus terus menerima kenyataan hidup seperti itu.
Nah, bila para gembalaitu adalah penguasa (eksikutif dan legislatif), sejatinya harus melakukan sesuatu sebelum gembalaannya frustasi, tertimpa penyakit ta’un atau harus terkapar di samping rumahnya sendiri. Dalam kontek ini, maka mengawal dan membela nasib rakyat bukan sekedar mengepal-ngepal tangan di mimbar-mimbar ekslusif sambil berkata; “Mari mengawal memajukan negeri biar hidup sejahtra. nasib dan penderitaan rakyat ini akan terus diperjuangkan!” Namun, hasilnnya, usai orasi, rakyat tetap saja dalam keadaan mereka; tidak berubah, miskin, keroncongan dan menderita. Sebaliknya para orator, jika dulu hanya punya honda butut sekarang naik mobil mewah; dulu berbaju kusut sekarang pakai wol dan belumah; dulu wajah mereka yang tampak keriput sekarang setiap minggu mandi sauna sambil sesekali bicara menggunakan aksen eropa.
Keabaian atas keadaan, bahkan sikap represif atas rakyat yang lemah terus saja dipertunjukkan.
Kita mesti berani menuding diri agar tidak menimpahkan kesalahan ini pada siapa-siapa. Apalagi untuk rakyat jika mereka selama ini pasif, tak berdaya, atau pun menggerutu. Sebab yang awam pun tahu, kalau Aceh sebenarnya mampu melakukan suatu perubahan, bahkan bisa melampuainya.
Dan ketika ini tidak bisa dilakukan, tentu akan menjadi aib karena dianggap pemerintah sebagai “tuan gembala” tidak amanah dan berkhianat atas rakyatnya. Sebab, mereka inilah yang merumuskan, merancang dan membuat seluruh undang-undang, kebijakan dan berbagai aturan yang berlaku bagi masyarakat. Apalagi, khususnya para umara, sebagai pemegang legitime coercive power yang secara resmi memiliki hak-paksa untuk menegakkan hukum, memperjuangkan cita-cita nasib rakyat. Namun sialnya, kebijakan-kebijakan yang dihasilkan justru telah membawa rakyat terpuruk dalam liang kemiskinan, sementara para penguasanya kaya-raya.
Dalam perspektif ajaran Islam keadaan itu dikatagorikan sebagai kemunafikan teologis saat para pemimpin coba menanamkan nilai-nilai kebenaran kepada masyarakatnya, melalui berbagai aksi ketidak- adilan struktural, dimana kekuasaan digunakan untuk menzalimi atau menindas hak-hak orang lain dalam lakon kepemimpinannya. Secara sosiologis, merupakan pembohongan publik karena antara ucapan dan kenyataan tidak bersesuaian.
100924bfoto-gepeng.jpg
Penderitaan dan nasib buruk adalah andil dan karya pemimpinnya harus bisa diakhiri dengan dimulai dari pertaubatan struktural dan prilaku kepemimpinan, kemudian memberi contoh yang baik, mendidik, membimbing, dan menggerakkan rakyat melakukannya.
Hem, aku rapikan bengkelai sisa sarapan pagi itu. Mari berubah!

Sort:  

keserakahan pemimpin

keserakahan menjadi prestasi terbesar para pemimpin,

dahsyat bang followernya

hehe, trimakasih atas apresiasinya, salam stemian

Get that na teuh!

maksudnyapa dek mus