Abang Djampang

in #cerpen7 years ago (edited)

haji tempo doeloe.jpg

Abang Djampang belum mati, semua orang juga tahu.

Tapi aku tahu ke mana dia menghilang.

Abang Djampang meninggalkan Batavia, menyelundup naik kapal Armanistan dari pulau Onrust sebagai penumpang gelap dan pergi ke tanah suci. Setelah menunaikan ibadah haji, dia pergi ke Madagaskar dan bergabung dengan kelompok tani untuk mendapatkan tanah perkebunan seluas 2 hektar di sana, tak jauh dari desa Ambilobe.

Lokasi lahan perkebunan inti plasma itu bernama Tanin’ny Rahalany.

Tanin’ny Rahalany bukanlah kebun yang menarik. Memang mereka memelihara ternak seperti sapi, kerbau dan kambing yang menghasilkan daging dan susu. Ladang garapan ditanami singkong, ketela dan jagung untuk diolah menjadi tepung di pabrik milik komunitas.

Aula tempat makan bersama adalah salah satu yang terbesar di Madagaskar. Seminggu sekali, film bisu yang sudah beredar di bagian lain planet bumi diputar di sana, Jumat malam. Meja kayu dan bangku papan disediakan lengkap dengan botol kecap dan garam. Makanannya hambar.

Ketika Abang Djampang datang, dia di barak bersama para penggarap kebun yang masih lajang lainnya. Semuanya jauh lebih muda dari dia. Perjalanan dengan kapal uap selama tujuh puluh lima hari dari pulau Onrust ke pelabuhan Jeddah telah membuatnya kehilangan banyak berat badan.

Pada hari Minggu, dia pergi ke pelabuhan Port Saint Louis yang berjarak 21 kilometer dari Tanin’ny Rahalany untuk berenang ke pantai Ambodibonara. Temannya berenang hanyalah satu atau dua wanita tua yang mengepakkan tangan dan kaki perlahan dan santai, seperti bebek yang diam-diam hanyut terbawa arus.

Di kebun, Abang Djampang bertugas membajak ladang dengan luku yang ditarik sapi atau kebau. Saat melintas di ladang, dia suka menyanyikan Stamboel Kemajoran atau Krontjong Dewi Moerni.

Dia punya teman di barak, Tan Beng Tjok, yang masih kanak-kanak saat Abang Djampang bergabung di komunitas mereka. Dia membuntuti Abang Djampang berkeliling. Dia yakin Abang Djampang adalah Abang Djampang.

"Namaku Rajesh," Abang Djampang berkata kepadanya hampir setiap saat. "Rajesh. Aku orang India, Abang Djampang bukan orang India."

Namun, Tan Beng Tjok yakin dia adalah Abang Djampang.

Pada hari Sabtu, Abang Djampang pergi ke kedai arak milik koperasi bersama para penggarap kebun lain. Tidak ada yang membayar tunai di koperasi. Semua orang punya kredit. Abang Djampang minum ala kadarnya. Dia suka duduk dengan secangkir teh susu dan mendengarkan orkes amatiran para pemuda kebun memainkan lagu-lagu gambus atau keroncong.

Dia tak pernah mau menyanyi, dan menghindari guru bela diri sekolah dasar Tanin’ny Rahalany yang bernama Miss Dasima, yang selalu menggodanya. Miss Dasima yakin pernah melihat Abang Djampang, seolah-olah dia adalah seseorang yang dia kenal, tapi tidak dapat mengingat dari mana asalnya.

Miss Dasima saat mudanya dulu pernah berguru pencak silat di Depok. Hanya saja, dia mengidolakan si Pitung, bukan Abang Djampang.

Jika seseorang kebetulan membelikannya arak ciu, dia selalu berkata, “Terima kasih. Terima kasih banyak.”

Dia sangat sopan, dan para tetua di perkebunan menyukainya. Kakek Tan Beng Tjok yang sudah merokok selama tujuh puluh tiga tahun dan meninggal pada usia sembilan puluh tujuh tahun, selalu berkata:

“Dia adalah orang Bangla yang baik, si Rajesh. Kamu harus menirunya, Tjok.”

Seharusnya Abang Djampang senang. Tanin’ny Rahalany adalah tempat yang indah untuk tinggal, dan juga sepi.

Tan Beng Tjok menceritakan kapan terakhir kali dia melihatnya.

Abang Djampang sedang mencegat gerobak pedati di jalanan yang menuju Port Saint Louis. Dipinggangnya terselip sebilah golok yang belum pernah dilihat Tan Beng Tjok sebelumnya, dan dia memakai ikat kepala hitam dengan celana komprang dan beskap juga warna hitam, dan dia tersenyum.

Saat menampak Tan Beng Tjok, dia melambai. Tepat pada saat itu sebuah piring terbang mendarat dan mengangkatnya sebelum kemudian melesat ke angkasa.

Tan Beng Tjok tidak pernah melihatnya lagi setelah itu.

Mungkin dia pergi ke lahan perkebunan inti plasma lain.

 

Bandung, 12 Januari 2018