Dengan bahasa, menjaga dan melindungi jiwa sebuah bangsa

in #busy7 years ago

images (94).jpeg
Tapi dilon hana lon tuleh ngen basa Aceh mungken na yang hanjeut basa Aceh

Dalam kehidupan sehari-hari, kita di Aceh sering dipandang negatif pada orang Aceh atau anak-anak yang orang tua asli Aceh, tetapi tidak dapat berbicara Aceh. Begitu pula saat ada orang Aceh kita bertemu untuk berbicara dengan aksen asing. Namun ironisnya, tidak ada yang keberatan ketika orang menulis bahasa Aceh dengan standar penulisan yang tidak biasa. Tidak ada yang marah atas ejaannya salah, tapi semua protes saat dia salah bicara. Semua berteriak keras tentang pentingnya menjaga eksistensi bahasa ini, tetapi tidak ada yang benar-benar menghargai dan menghormati perilaku tulisannya. Sepertinya kita ingin membiarkan bahasa Aceh tetap menjadi bahasa Lisan di dunia percakapan dan tidak benar-benar ingin mengangkatnya ke dunia tulisan yang sedikit lebih tua.

Perhatikan bagaimana kita serius membahas teknologi dan sains dengan Bahasa Indonesia, kemudian beralih ke bahasa Aceh hanya untuk bertukar pikiran dengan teman-teman di kedai kopi. Lihatlah bagaimana orang tua muda di daerah perkotaan menyayangi anak-anak mereka di Indonesia, dan kemudian saat anak-anak pergi, mereka menjadi gerutuan di Aceh. Apakah ini bagian kecil dari fungsi bahasa Aceh di kehidupan nyata kita? Tidak mustahil, suatu hari, fungsi bahasa Aceh hanya berada dalam konteks yang makian atau lucu, seperti yang ditunjukkan dalam komedi-komedi.

Salah satu penyebab terbesar kepunahan bahasa adalah bilingualisme atau transisi sekelompok orang ke bahasa kedua, meninggalkan bahasa pertamanya perlahan-lahan dari generasi ke generasi. Kita tentu tidak bisa menyalahkan atau melarang penggunaan Bahasa Indonesia untuk menyelamatkan Aceh. Sejak berabad-abad lalu, orang Indonesia, yang lahir dari Bahasa Melayu Kuno, telah menjadi bahasa lingual dari berbagai bangsa di Asia Tenggara. Yang perlu kita lakukan adalah menyelamatkan bahasa Aceh dengan memperluas fungsi dan perannya untuk bersaing dengan Bahasa Indonesia.

Ada banyak contoh kasus di berbagai belahan dunia di mana dua bahasa bisa tumbuh bersama. Di Kanada, Inggris dan Prancis sama tinggi. Di Filipina, masyarakat bisa menulis dan membaca dalam bahasa Tagalog dan Inggris. Di Cina, bahasa Kanton bisa menjadi media pembelajaran di sekolah, bukan hanya bahasa Mandarin. Bahasa Aceh harus mampu mengakomodasi tidak hanya percakapan "cerewet", tetapi juga topik serius seperti politik, ekonomi, sains, dan sosial budaya.

Memajukan literatur
Salah satu cara untuk menyelamatkan bahasa dari kepunahan adalah dengan memajukan sastra. Sastra di sini tidak terbatas pada puisi atau puisi, tetapi semua bentuk keaksaraan; cerita pendek, majalah, buku cerita anak, poster, komik, dan lainnya. Semua ini harus ditulis dengan mengacu pada ejaan standar. Tentu saja bagian ini tidak mudah. Ambil serangkaian garis, lheè, dan le. Kata-katanya cukup tinggi pada frekuensi penggunaan ini, hari ini ditulis dengan berbagai cara oleh para pembicara.

Sedikit merepotkan untuk menghabiskan sedikit waktu untuk memikirkan ejaan standarnya di Kamus Kamus Aceh, ketika orang pada akhirnya akan mengerti dan memahami kesalahan tulisan kita dengan bantuan kalimat konteks. Mungkin orang akan mengatakan, hanya untuk komunikasi informal seperti status facebook, untuk apa yang mengganggu menulis dengan ejaan standar. Masalahnya adalah poster dan tulisan resmi lainnya penuh dengan salah eja dan tidak seragam satu sama lain.

Lihat seberapa kuat seorang guru bahasa Inggris memastikan bahwa murid-muridnya menulis ejaan bahasa Inggris dengan benar. Sedangkan sistem penulisan bahasa Inggris jauh lebih berantakan dibanding sistem penulisan bahasa Aceh. Suara dan huruf yang berbeda secara tertulis membuat anak-anak sekolah dasar di Inggris terpaksa menghafal surat per huruf untuk kata-kata yang mengeja suara dan huruf yang tidak konsisten, agar bisa menulis bahasa Inggris dengan benar dan benar. Bayangkan jika mereka bisa menulis dengan cara apa pun yang mereka inginkan, seperti yang kami lakukan dengan bahasa Aceh. Mungkin bahasa Inggris tidak akan pernah menjadi bahasa resmi dunia. Pengejaan standar penting dan bisa mengangkat status bahasa.

Berbicara tentang standarisasi sistem penulisan, ada dua hal penting yang harus dilakukan. Pertama, luncurkan standar yang disepakati oleh semua kalangan. Ini adalah masalah yang bermasalah mengingat bahwa penutur Aceh sendiri terbagi menjadi beberapa dialek. Kata yang sama diucapkan secara berbeda oleh dua pembicara dialek yang berbeda. Kata 'cikik' diucapkan sebagai kue oleh pembicara dari dialek Aceh Besar, dan hewan peliharaan oleh dialek dialek Aceh Utara. Solusi untuk masalah ini adalah dua; yang pertama, memilih dialek terbesar dari sejumlah pembicara, atau kedua, tidak berdiri di atas dialek apa pun; Bentuk mentah setiap kata dipilih dari bentuk paling populer dalam percakapan antardial. Masalah lain yang perlu dipertimbangkan adalah aturan penyerapan kata-kata asing dan menyesuaikan ejaan mereka ke dalam bahasa Aceh standar.

Selain itu, bunyi vokal yang lebih kompleks dalam bahasa Aceh juga harus diterjemahkan ke dalam sistem penulisan dengan penambahan huruf-huruf tambahan ke sistem alfabet bahasa Indonesia yang telah kita kenal. Sistem penulisan yang beredar di dokumen resmi hari ini menggunakan simbol monograf seperti (è, é, ô, dan ö) dan di (eu). Tidak banyak yang mengenal simbol baru ini dan lebih memilih untuk 'mengakali' abjad Indonesia untuk menulis kata-kata Aceh

Tidak familiar
Penelitian oleh Yulia (2009) menunjukkan bahwa anak-anak Aceh tidak akrab dengan simbol dan suara yang mereka wakili. Hal itu dibuktikan dengan tingginya jumlah anak yang tidak menggunakan ejaan bahasa Aceh yang benar dalam tes ejaan yang diberikan. Memperlihatkan simbol-simbol ini melalui buku-buku yang dikemas dengan cerita dan gambar yang menarik dapat menjadi cara yang efektif untuk bersosialisasi bukan hanya kosakata, tetapi juga suara-suara unik di Aceh yang tidak ditemukan dalam Bahasa Indonesia.

Menurut temuan penelitian di Papua New Guinea, anak-anak yang mengajar dan belajar menulis dalam bahasa ibu mereka, Tok Pisin, terbukti belajar lebih cepat dan memiliki nilai akademik yang lebih baik daripada anak-anak yang memulai belajar dengan membaca bahasa Inggris. Anak-anak yang belajar mengenali suara dan huruf melalui bahasa sehari-hari mereka akan lebih antusias dan termotivasi untuk belajar karena mereka mengenali kosakata yang mereka gunakan, dan mengekspresikan ide-ide mereka dengan bebas dalam bahasa yang mereka gunakan dengan baik.

Mengingat orang Aceh saat ini telah mengubah bahasa dominannya dari Aceh ke bahasa Indonesia, semakin banyak anak-anak yang bisa bahasa Indonesia sebagai bahasa terkuat mereka. Akibatnya, mengajar Aceh sebagai media mengajar tidak lagi efektif. Namun, menurut saya di daerah pedesaan masih banyak anak yang terpapar bahasa Aceh dalam kehidupan sehari-hari dari masa pra sekolah. Jadi tidak ada gunanya memasok buku-buku bacaan Aceh dengan mendidik konten dan gambar-gambar menarik untuk menumbuhkan apresiasi yang kuat terhadap sistem Bahasa Aceh abjad. Tentunya hal ini dilakukan bersamaan dengan memberikan bacaan bahasa Indonesia, sehingga kedua keterampilan tersebut terbentuk bersama dan saling mendukung.

Para peneliti tentang pembelajaran bahasa percaya bahwa menjadi bilingual dapat meningkatkan kemampuan untuk memahami bagaimana bahasa bekerja secara umum, yang pada akhirnya dapat mendukung pembelajaran ketiga, keempat, dan seterusnya. Keuntungan berbicara lebih dari satu hanya bisa terjadi jika anak bilingual benar-benar menguasai kedua bahasa, dan bisa menulis dan membaca menggunakan kedua bahasa tersebut. Membaca dan menulis dalam dua bahasa membuat orang sadar akan perbedaan dan kesamaan kedua bahasa tersebut, jadi ketika dihadapkan pada bahasa ketiga, mereka tidak segera mencampur bahasa lama ke bahasa baru dan akan mencoba untuk melihat bahasa baru dengan aturan uniknya sendiri.

Status bilingual rata-rata orang Indonesia saat ini tidak mendukung pengembangan keterampilan meta-bahasa ini. Penyebabnya tentu saja karena bahasa daerah jarang diproses oleh otak anak-anak kita dalam bentuk visual (baca dan tulis) sehingga karakteristik bunyi khususnya, atau tata bahasa, tidak pernah dilihat dan dicatat secara eksplisit oleh pembicara. Jika bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia sama-sama diintegrasikan ke dalam konteks penulisan, tentu saja, dengan isi ejaan dan luas yang tepat, kemungkinan anak-anak Aceh menjadi pembicara bilingual yang unggul dan dapat memiliki efek positif dari bilingualisme .

Standarisasi sistem
Membangkitkan Bahasa Aceh ke dalam dunia literasi harus dimulai dengan standarisasi sistem penulisan dan penyerapan kata-kata baru (baik dari bahasa Indonesia, Arab, atau Inggris), untuk mendukung para pembicara yang menulis tentang topik dan tema di Aceh. Tahap kedua setelah standardisasi penulisan adalah mensosialisasikan kegiatan menulis dan membaca di Aceh. Ini dapat dilakukan dengan banyak cara, seperti memiliki "Persaingan Bahasa Tahunan di Aceh" untuk semua usia dan lingkaran. Misalnya, ada kompetisi menulis cerita anak-anak, dongeng, cerita pendek, artikel ilmiah, puisi, puisi, lagu, pidato, debat, dan sebagainya. Kompetisi ini mendorong siswa sekolah, termasuk guru untuk mengajar dan membiasakan siswa mereka untuk menulis dalam bahasa Aceh yang baik dan benar melalui penyediaan pelatihan membaca dan menulis dalam bahasa Aceh di sekolah-sekolah.

Komite khusus juga dapat dibentuk dan ditugaskan untuk menjadi pengawas (anjing penjaga) yang memantau penggunaan bahasa Aceh dalam literatur yang bersirkulasi, dan memastikan bahan bacaan yang digunakan di sekolah-sekolah dalam sistem penulisan yang sama. Tugas lain dari komite ini adalah memutuskan bentuk mentah untuk kata-kata baru yang diserap oleh masyarakat dari bahasa lain. Selain mengatur ejaan standar untuk kata-kata penyerapan, Komite juga bertugas memperbarui korpus bahasa Aceh yang akan menjadi referensi standar untuk bahasa Aceh. Langkah-langkah ini membutuhkan banyak kerja keras dan komitmen, tetapi tentu saja dapat melahirkan efek dan perubahan dalam sikap orang-orang dalam melihat, merawat, dan menghormati bahasa lokal mereka.

Untuk membiasakan masyarakat dengan sistem penulisan yang baik dan benar, pengenalan bacaan bahasa Aceh harus dimulai sejak dini. Buku-buku bacaan yang bersinar menyoroti simbol-simbol unik dalam Ejaan Aceh dapat digunakan sebagai bahan bacaan yang tersedia secara gratis di setiap kelas sekolah, perpustakaan umum, rumah sakit anak-anak, ruang tunggu pusat kesehatan, dan di ruang publik lainnya. , tentu saja bersama dengan membaca buku dalam bahasa lain seperti bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Singkatnya, tempat yang lebih istimewa dalam pendidikan Aceh di dunia literasi ini seharusnya tidak dilihat sebagai upaya yang mendesak atau tidak lebih penting daripada mendorong bahasa. Bahasa yang diperlakukan dengan baik, 'memperlakukan' rasa ejaan mereka, mempertahankan standar kesehatan tulisan mereka, berfungsi setiap hari baik dalam konteks menulis dan berbicara, akan hidup sehat di masyarakat dan akan menjadi bahasa favorit semua orang. Namun, jika bahasa tersebut dibiarkan sakit, tidak pernah diperlakukan dan memperbarui fungsinya, maka orang akan memilih untuk meninggalkannya dan beralih ke bahasa dengan kesehatan yang lebih baik dan fungsi yang lebih baik.

Sort:  

Saya sangat sepakat dengan @joelkhairy. Jika kita tdk peduli dg bahasa ibu kita. Maka lambat laun, bahasa Aceh akan hilang.

Sebenarnya bahasa Aceh sdh pernah ditulis dalam huruf arab. Namun, pembacaannya cukup sulit. Sehingga banyak ditinggalkan.

Ide menulis bahasa aceh dlm huruf latin cukup baik. Tapi harus ada orang2 yg bisa fokus disitu.

Kadang saya iri melihat daerah2 lain. Bahasanya menjadi matakuliah yg dipelajari di kampus2. Bahasa Jawa misalnya. Bahkan bule pun ikut mempelajarinya kan?

Iya betoi bang.
Makajih tanyo harus tabudayakan basa Aceh bg. Bak2 aneuk harus tapeuruno basa Aceh. Bek sampek gadoh basa geutanyo bg @faridwajidi

We can take out a good learn from your blog.It is an educative value. Big thanks @joelkhairy (>‿♥)

Thank you for the compliment

You got a 8.70% upvote from @luckyvotes courtesy of @joelkhairy!

You got some unconditional puppy love and a 50.00% upvote from @puppybot courtesy of @joelkhairy!

aspect.png

This post has received a 14.29 % upvote from @chronocrypto thanks to: @joelkhairy.

This post has received a 0.43% upvote from thanks to: @joelkhairy.
For more information, click here!!!!

Try the new Minnowhelper Bots for more information here

Do you know, you can also earn passive income after every bidding round simply by delegating your Steem Power to @minnowhelper?
you can delegate by clicking following links: 10 SP, 100 SP, 500 SP, 1000 SP or Another amount

Help support @minnowhelper and the bot tracker by voting for @yabapmatt for Steem witness! To vote, click the button below or go to https://steemit.com/~witnesses and find @yabapmatt in the list and click the upvote icon. Thank you.

Voting for @yabapmatt

Panyang that lago tulesan nyo, tapi tak apa, karena setelah lontuan baca, pu nyang dron tuleh memang beutoi. Jinou pakiban cara ta useuha beuna saboh gerakan nyang konkret dan terpadu untuk ta jaga kelestarian bahasa aceh. Great content @joelkhairy

Hehe, terimong geunaseh rakan. Mudah2an lagenyan bg. Kiban cara bek sampek gadoh bahasa dro teuh bg